Mei 13, 2016

Ada Dua Rekomendasi Simposium soal PKI

Hasil simposium Akan Diserahkan Ke Presiden 

 Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan (Aryo Wicaksono/VIVA.co.id)

Sabtu, 4 Juni 2016 | 00:57 WIB
Oleh : Harry Siswoyo, Moh Nadlir


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan sinkronisasi dua rekomendasi, hasil simposium tragedi 1965, dan simposium Anti-PKI. Sinkroniasi dua rekomendasi hasil simposium itu, kata Luhut, dilakukan sebelum hasil rekomendasinya diserahkan ke Presiden Joko Widodo. "Ya, iya lah, masa terobos mentah-mentah kami kasih Presiden. Ya tidak dong," kata Luhut di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat 15, Jakarta Pusat, Jumat 3 Juni 2016. Usai itu, rekomendasi tersebut akan diupayakan diserahkan ke Presiden. Saat ini, pemerintah tengah mengumpulkan berbagai bukti dan fakta pendukung lainnya guna menuntaskan masalah kasus tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat pada 1965 itu. "Saya berharap bulan-bulan ini, kita lihat nantilah. Karena kan masih ngumpulin masukan dari tim Jaksa Agung, Komnas HAM, Lemhanas. Kami lihat, baca, akan dirumuskan itu semua," katanya. Menurut Luhut, selama dua rekomendasi itu sesuai Tap MPRS XXV/1966, Tap MPR I/2003, UU No. 27/1999 Jo KUHP Pasal 107 dan 169 tentang Pelarangan terhadap PKI, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah akan bisa menerima rekomendasi hasil dua simposium tersebut. "Semua diserahkan, kalau sesuai dengan garis pemerintahan dan tiga dasar Tap MPRS 1966, Tap MPR 2003, UU 27/99 itu pasti lah dalam koridor itu," kata Luhut. Untuk diketahui, Simposium Nasional membedah tragedi 1965 menghasilkan berbagai tuntutan, usulan dan rekomendasi, salah satunya bahwa negara harus mengakui telah melakukan kekerasan di masa lalu itu. Rehabilitasi, juga menjadi tuntutan yang disuarakan. Tak terkecuali bahwa proses hukum harus tetap berjalan, meski proses rekonsiliasi juga dilaksanakan. Sementara itu, Simposium Nasional yang digelar purnawirawan TNI dengan tema “Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Ideologi Lain” menghasilkan sembilan butir rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi itu pada intinya meminta PKI meminta maaf atas pemberontakan yang mereka lakukan, meminta masyarakat tidak lagi mengungkit sejarah pemberontakan di masa lalu itu, dan meminta pemerintah menguatkan materi Pancasila dalam kurikulum pendidikan. KOMENTARI ARTIKEL INI TERKAIT FPI: Harusnya PKI yang Minta Maaf ke Negara FPI: Harusnya PKI yang Minta Maaf ke Negara Warga Diminta Laporkan Aktivitas PKI Warga Diminta Laporkan Aktivitas PKI Inisiator Simposium Anti PKI Sambangi Menko Polhukam Inisiator Simposium Anti PKI Sambangi Menko Polhukam KSAD: Lebih Gagah Pakai Atribut Pancasila Daripada PKI KSAD: Lebih Gagah Pakai Atribut Pancasila Daripada PKI PKI Diisukan Bangkit Lagi, JK: Itu Berlebihan PKI Diisukan Bangkit Lagi, JK: Itu Berlebihan Soal PKI, Agum Gumelar: Sejarah Tidak Bisa Dipotong-potong Soal PKI, Agum Gumelar: Sejarah Tidak Bisa Dipotong-potong

Penanganan Atribut PKI Bisa Memicu Konflik

 Penanganan Atribut PKI Bisa Memicu Konflik 

Kamis, 12 Mei 2016 23:38 WIB
Sejumlah massa aksi dari Gerakan Bela Negara (GBN) melakukan aksi demontrasi dengan menginjak simbol Partai Komunis Indonesia (PKI) di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, Senin (17/8/2015). Mereka menolak upaya rekonsiliasi pemerintah dan keluarga anggota PKI. SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO


JAKARTA— Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan perlu penegakan hukum atas komunisme. Menurut Haris, pernyataan ini bisa dijadikan alat pembenar bagi siapa pun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan. "Atas nama komunisme, seseorang atau kelompok tertentu bisa melakukan main hakim sendiri," ujar Haris melalui keterangan tertulisnya, Kamis (12/5/2016). Lebih lanjut, Haris menuturkan bahwa maraknya operasi anti-komunisme atau anti-PKI merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan. Operasi ini, kata dia, terjadi akibat kegamangan pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Menurut Haris, tujuan dari operasi yang marak pada bulan Mei ini adalah untuk menolak rencana pengungkapan kejahatan politik Orde Baru yang militeristis, terutama pasca-menguatnya upaya identifikasi kuburan massal. Yang kedua, tujuan dari langkah ini adalah membungkam gerakan kelompok kritis di kalangan masyarakat yang makin menguat untuk membongkar berbagai kejahatan negara, baik pada masa lalu maupun yang kini sedang terjadi.Misalnya, menuduh upaya advokasi tolak reklamasi sebagai komunis, dan teror terhadap penerbit buku di Yogyakarta. Semua operasi ini, tutur Haris, adalah bentuk ketakutan dari mereka yang diuntungkan oleh praktik korupsi dan militeristis Orde Baru. "Kepentingan mereka sedang terganggu oleh kemajuan dan perubahan zaman. Presiden harus hentikan operasi-operasi seperti ini. Jika tidak, maka ke depan kita masih akan disuguhi drama anti-komunisme," kata dia. Penulis: Kristian Erdianto